Lebaran haji tahun ini jatuh
pada tanggal 6 November 2011. Udah empat tahun lebih banyak gue lebaran haji di
kosan. Sejak lulus dari bangku Sekolah Menegah Pertama gue gak pernah lagi
namanya ngeliat hewan kurban bareng teman-teman naik sepeda sore hari. Wah,
serulah pokoknya komplek gue waktu muda dulu. Gak seperti sekarang ini.
Aura-auranya udah jelas jauh berbeda.
Beberapa rumah biasanya
memelihara terlebih dahulu hewan kurban selama 2-3 hari. Maksimalnya sih tiga
hari. Nah, waktu stan kurbannya
dibuka barulah si hewan kurban dibawa kesana.
Gue pernah mengalami kejadian
ini. Bokap gue waktu itu beli kambing warna putih. Bokap gak mau beli warna
lain. Soalnya takut beda rasa dagingnya. Apa
coba~
“Ngaruh gitu Ru rasanya dengan
perbedaan warna?”
Yaa gue sih gak tau juga ngaruh apa gaknya, yang pasti bokap gue gak suka makan daging dan gue udah lupa alasannya kenapa. Mungkin aja punya pengalaman buruk. Bisa aja karena dulu bokap gue pernah makan daging KW. Bisa aja bokap gue dulu pernah diseruduk sama domba atau sapi waktu kecil. Jadi, waktu makan selalu keingat-ingat sama tanduknya. Lupakan.
Gue lanjutin ceritanya. Waktu
rumah (maksud gue rumah perusahaan bung) gue masih ada halaman lumayan besar
dan cukup buat kejar-kejaran sepuluh anak kecil. Tertancaplah satu tiang
bendera. Ada satu pohon kelapa. Ada sepasang ayunan hanya menyisahkan tiang
doang. Kebetulan kambing gue ini diikat tepat di tiang bendera.
…
Beginilah ceritanya…
Hari
pertama peliara. Gue gak perlu repot-repot cari
makannya. Udah ada rumput di bawah kakinya. Kambing gue ternyata demen daun manga. Kebetulan letak tiang
bendera gak jauh dengan pohon manga. Tali si kambing ini panjangnya semeter
lebih dikit. Kalau diikat pendek banget entar dia gak bebas ber-ekspresi.
Hari
kedua peliara. Taiknya bau rumput dan
dedaunan terpaksa harus gue bersihin. Soalnya
udah berkeliaran dimana-mana. Coba taiknya keras. Bisa gue jualin ke anak-anak.
Soalnya ‘itu’-nya bulat-bulat kecil. Anak-anak kayak gue dulu mainannya masih
berbentuk kelereng. Komputer mah disana belum ada yang punya. Ada sih, tapi
selama main ke rumah teman gak pernah liat namanya komputer di rumahnya.
Setelah bersihin kotoran si
kambing, gue disuruh bokap mandiin kambing. Aje
gile Ndro. Kambing mana ada yang mandi. Bakalan diseruduk sama ni kambing
kalo gue mandiin. Ternyata setelah gue ikut pelatihan dengan bokap cara
memandiin kambing dengan benar. Gue berhasil mandiin itu kambing dengan tenang.
Pertama,
jangan asal siram kambingnya. Dia gak jauh beda dengan lo mandi. Bedanya hanya
dia di ruangan terbuka doang. Gue juga sebenaranya waktu kecil suka banget
mandi di halaman rumah pake selang. Balik lagi ke kambing. Dia itu makluk lemah
terhadap air. Siram menggunakan perasaan. Sedikit-dikit. Kayak lo mandiin anak
bayi intinya mah.
Kedua,
karena kambing gue warnanya putih jadi keliatan banget kalo kotor warnanya
langsung kuning. Lo sikat tuh pelan-pelan.
Seperti lo nyikat badan lo sendiri. Jangan sikatnya kayak nyuci pakaian. Pasti
itu dengan penuh kenafsuan semata sikatnya. Itu pasti. Apalagi kalo itu
kotorannya gak mau ilang-ilang alias membandel. Sikat kambing dengan satu arah
saja. Jangan maju mundur, maju mundur. Itu sakitnya bakalan dua kali lipat.
Ketiga,
jangan lupa ketika lagi mandiin kambing lo ajak ngobrol juga biar senang
kambingnya. Walaupun gaya bahasanya beda, pasti kita bisalah niru-niru suara
kambing. Gunakan irama yang beda-beda walaupun kata yang lo tau itu “Embee~”
doang.
Bisa juga lo gunakana bahasa
manusia. Walaupun dia hampir tidak mengerti sama sekali apa yang lo bicarakan.
Kambing ini pasti ngerasa nyaman dan bisa langsung mengenal bahwa lo adalah
pemiliknya. Ini sih pengalaman gue selama nonton di tivi-tivi begitu.
Hari
ketiga. Hari paling seru di komplek gue. Dimana
hari ketiga kambing-kambing di bawa ke tempat kurban. Disinilah gue bisa ngeliat teman-teman gue bawa kambingya
ke tempat tujuan. Bukan perkara mudah bawa ini kambing jalan ke tempat
kurbannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar