Sabtu, 11 Februari 2012

Tarra



...
Gadis desa yang aku kenal dengan baik. Rumahnya tidak terlalu jauh dari rumahku. Cukup melewati lima rumah saja dari rumahnya untuk sampai kerumahku.

Terlahir sebagai wanita. Sejak kecil ia sudah menggunakan kacamata. Tunggu, tunggu. Ada gadis dari desa menggunakan kaca mata? Apakah sudah ada kacamata di desa tempat tinggalku dulu?

Tentunya sudah. Buktinya sampai saat ini Tarra menggunakannya dengan baik. Aku pernah sesekali membongkar isi tasnya. Ternyata isinya buku semua dan bekal yang dibawakan oleh ibunya.

Sedangkan tasku isinya hanya satu buku tulis dan bekal. Kami sering bertukar makanan. Itupun kalau kami sedang bosan dengan masakan ibu kami yang itu-itu saja.

Aku dan Tarra suka bermain bersama di sore harinya. Walaupun hanya sebentar waktunya, tapi itu udah membuat kami senang. Bahkan yang tadinya sudah mandi sore harus mandi untuk kedua kalinya karena bermain kecebong di tempat becek.

Masih ingat waktu ngaji bareng-bareng. Kita pernah tidak datang ngaji hanya untuk melihat kecebong yang kita kurung semalam. Lucu rasanya mengingatnya kembali. Ternyata kecebongnya mati semua gara-gara ditutup rapat.

Masih ingat nyimpannya dulu pake Aqua gelas, terus tutupnya pake kertas yang aku sobek dari buku tulis. Seharusnya buku tulis itu digunakan untuk menulis arab melayu, kaligrafi, dan hapalan agama.

Tidak terasa main bersamanya sudah tiga tahun.


Sekarang ia sudah tumbuh menjadi wanita dewasa. Kacamatanya membuat aku selalu ingat kepadanya. Cara ia menggunakannya seperti nenek-nenek. Agak sedikit menurun di ganjel oleh hidunya yang tidak terlalu mancung, tapi menurutku itu sudah masuklah Standar Nasional Indonesia.

Paras wajahnya juga tidak terlalu banyak berubah. Perubahan Tarra terlihat jelas dari kedewasaannya yang membuat aku terpesona. Tidak henti-hentinya aku memandangi foto wajahnya yang ia kirim setelah pindah rumah.

Rambut panjangnya yang ia pamerkan di fotonya. Menunjukan bahwa ia tidak menjadi tomboy lagi. Senyumnya lepas membuat aku ingin mencium fotonya berulang kali. Sampai ibuku mengatakan “Nabil, lama-lama kalau kamu ciumin itu foto bisa bolong nanti kena air liur kamu.” Tiba-tiba ibu datang sambil mengambil pakaian kotor dalam kamarku.

Aku hanya bisa malu tak berdaya melawan perkataan ibuku. Senyum lepasnya tak mampu sembunyikan gigi gingsulnya. Wajahnya sama sekali tidak ada jerawatnya. Hanya saja aku melihat ada tahi lalat di bawah mulutnya sebagai pemanis atau semakin ia bertambah cerewet.
Apakah Tarra masih seperti dulu tidak bisa mengontrol ketawanya? 

Dulu Tarra suka tertawa ala bapak-bapak. Entah belajar darimana ilmu ketawa ala bapak-bapak tersebut. Walaupun demikian ketawa Tarra khas sekali. Sampai tadinya aku tidak mau ketawa jadi ketawa gara-gara getaran tawanya. Sanggupkah aku bertemu dengannya kembali. Wajahmu itu mengalihkan ujian-ku Tarra.

Tidak ada komentar: