...
Gadis desa yang aku kenal
dengan baik. Rumahnya tidak terlalu jauh dari rumahku. Cukup melewati lima
rumah saja dari rumahnya untuk sampai kerumahku.
Terlahir sebagai wanita.
Sejak kecil ia sudah menggunakan kacamata. Tunggu,
tunggu. Ada gadis dari desa menggunakan kaca mata? Apakah sudah ada
kacamata di desa tempat tinggalku dulu?
Tentunya sudah. Buktinya sampai
saat ini Tarra menggunakannya dengan baik. Aku pernah sesekali membongkar isi
tasnya. Ternyata isinya buku semua dan bekal yang dibawakan oleh ibunya.
Sedangkan tasku isinya
hanya satu buku tulis dan bekal. Kami sering bertukar makanan. Itupun kalau
kami sedang bosan dengan masakan ibu kami yang itu-itu saja.
Aku dan Tarra suka bermain
bersama di sore harinya. Walaupun hanya sebentar waktunya, tapi itu udah
membuat kami senang. Bahkan yang tadinya sudah mandi sore harus mandi untuk
kedua kalinya karena bermain kecebong di tempat becek.
Masih ingat waktu ngaji
bareng-bareng. Kita pernah tidak datang ngaji hanya untuk melihat kecebong yang
kita kurung semalam. Lucu rasanya mengingatnya kembali. Ternyata kecebongnya
mati semua gara-gara ditutup rapat.
Masih ingat nyimpannya
dulu pake Aqua gelas, terus tutupnya
pake kertas yang aku sobek dari buku tulis. Seharusnya buku tulis itu digunakan
untuk menulis arab melayu, kaligrafi, dan hapalan agama.
Tidak terasa main
bersamanya sudah tiga tahun.
…
Sekarang ia sudah tumbuh
menjadi wanita dewasa. Kacamatanya membuat aku selalu ingat kepadanya. Cara ia menggunakannya
seperti nenek-nenek. Agak sedikit menurun di ganjel oleh hidunya yang tidak
terlalu mancung, tapi menurutku itu sudah masuklah Standar Nasional Indonesia.
Paras wajahnya juga tidak
terlalu banyak berubah. Perubahan Tarra terlihat jelas dari kedewasaannya yang
membuat aku terpesona. Tidak henti-hentinya aku memandangi foto wajahnya yang
ia kirim setelah pindah rumah.
Rambut panjangnya yang ia
pamerkan di fotonya. Menunjukan bahwa ia tidak menjadi tomboy lagi. Senyumnya lepas membuat aku ingin mencium fotonya
berulang kali. Sampai ibuku mengatakan “Nabil, lama-lama kalau kamu ciumin itu foto
bisa bolong nanti kena air liur kamu.” Tiba-tiba ibu datang sambil mengambil
pakaian kotor dalam kamarku.
Aku hanya bisa malu tak berdaya
melawan perkataan ibuku. Senyum lepasnya tak mampu sembunyikan gigi gingsulnya.
Wajahnya sama sekali tidak ada jerawatnya. Hanya saja aku melihat ada tahi
lalat di bawah mulutnya sebagai pemanis atau semakin ia bertambah cerewet.
Apakah Tarra masih seperti
dulu tidak bisa mengontrol ketawanya? Dulu Tarra suka tertawa ala bapak-bapak. Entah belajar darimana ilmu ketawa ala bapak-bapak tersebut. Walaupun demikian ketawa Tarra khas sekali. Sampai tadinya aku tidak mau ketawa jadi ketawa gara-gara getaran tawanya. Sanggupkah aku bertemu dengannya kembali. Wajahmu itu mengalihkan ujian-ku Tarra.