Rabu, 25 April 2012

Dinda



Setelah melewati jalan yang terbilang panjang. Gue harus berjalan keluar bandara sendiri tanpa teman. Musiklah yang menjadi teman gue saat itu.

Lima belas menit kemudian…
Akhirnya keluar dari bandara. Selanjutnya gue harus bertanya-tanya angkot mana bisa membawa gue sampai kosan. Ternyata gak ada. Gue harus naik angkot dua kali dari depan bandara. Pertama gue naik angkot lupa lagi tujuan mana itu. Ntar gue turun di IP (Istana Plaza). Terus gue naik angkot Caheum – Ciroyom. Dengan caatatan gue harus berjalan lagi untuk bisa berjumpa angkot Ciroyom. Ini kenapa ngomongin angkot woi~ 

 

Mau gak mau gue harus nunggu lama angkot Ciroyom lewat. Hujan datang, untung belum terlalu deras. Hanya gerimis. Tanpa jaket. Hanya baju bola kebesaranlah gue pakai saat itu. Gue harus menunggu sampai tiga kali lampu merah baru nonggol angkotnya. Ternyata kosong. Gue bebas milih tempat duduk. Gak perlu sopir ngatur-ngatur gue harus duduk dimana.

Dalam angkot hanya ada gue, penumpang depan dan sopir. Woi, kenapa angkot lagi yang lo bahas. Santai, ini udah mulai masuk ceritanya.

Masuklah penumpang yang ketiga. Ini bukan pancasila lho. Iya tau, cepatan lanjutin ceritanya. Perempuan ini rela basah-basahan hanya menunggu angkot. Angkot lagi. Berisik woi~ diam dulu lo. Oke. 

Waktu dia masuk, gue gak berani mandang wajahnya. Gue hanya ingat dia berbaju kemeja bunga-bunga dan bercelana. Iyapastilah dia bercelana. Gue kan belum selesai ngomong (ba)njir. Bercelana jeans hitam.

Perempuan inilah yang menjadi pemeran utama di cerita gue kali ini.  Namanya Dinda. Itu bukan nama sebenarnya. Hanya cocok saja. Tau darimana lo cocoknya sebuah nama Ru? Misalnya doang itu SEMPAK~

Gue geser kekiri, di masuk ke kanan. Tujuan gue baik. Biar Dinda gak kena hujan. Jarak tempat duduk kami hanya berbeda dua penumpang. Waktu itu angkotnya lumayan lama ngetem-nya. Gue dan Dinda diam seribu lima ratus tiga puluh satu bahasa. Gue diam. Dinda diam. Gue liat hape, Dinda lihat hape juga.

Kalian harus tau gimana suasananya pada saat itu. Gerimis mengundang. Maksudnya? Maksudnya gerimisnya itu mengundang galau kronis. Gue galau mau ajak ngobrol apaan waktu itu. Gak mungkin juga gue nanya “Baru pulang darimana Din?” Terus Dinda jawab “Muka gile lo Ndro. Lo kira lo nyokap gue nanya-nanya kayak gitu.” 

Atau seperti ini “Sejak kapan nyokap gue potong kambing?” jawabnya ketus. Gue mendengar jawaban Dinda langsung bergegas turun dari angkot dan berteriak kepada sopirnya “GILAAASSS GUEEE~” ternyata gue sadar, itu hanya imajinasi doang.

Angkot pun kembali jalan setelah tidak mendapat penumpang satu pun. Lampu merah pun menghampiri angkot kami. Kayak lo aja yang punya angkot kesannya. Berisik lo sisik kuda~ *lemparbanserepangkot* 
Sampai dimana tadi? Lampu merah. Gue mulai galau lagi di lampu merah. Biasanya pengamen hanya mau mengahampiri angkot yang berisikan penumpang banyak. Entah kenapa pengamen ini menghampiri angkot Dinda yang belum terlihat wajahnya sampai lampu merah ini.

“Permisi…” akhirnya pengamen tersebut mulai memetik gitarnya dan menyanyikan lagu Tompi – Menghujam Jantungku. Anjrit, lagu ini benar-benar membuat gue kembali berimajinasi. Mana hujan, diiringi live music lagi. Sesuatu sekali.

...

Pertengahan lirik lagu pelan-pelan gue dekatin Dinda. Dengan spontan gue pegang tangannya dan kamipun bernyanyi bersama. Gak lama kemudian kami kena marah sama sopir angkotnya. “BERISIK!!!” Teriak sopirnya sambil melihat kebelakang. Kamipun saling memandang dan ketawa cekikikan. Pengamen tadi makin semangat nyanyinya. Lalu gue kembali sadarkan diri.

Karena lumayan lama lampu merahnya, gue berniat mengajak ngobrol. Sayang niat itu gue harus batalkan. Gue takut Dinda teriak waktu gue mau mendekatinya. Bisa aja dia teriak begini “Tolong, pencuri…” Langsung gue jawab “Pencuri hati kamu sih iya.”

“Woo~” jawab penonton di dalam angkot. Penontonnya adalah penumpang pertama dan sopir angkot tersebut. Atau bisa juga begini "Tolong, ada orang mesum. Dia mau mencoba mengambil kehormatan saya." Gue jawab "Mbak, kok pake hormat segala. Upacara bendera itu hari senin." Oke, garing. Dan semua niat tadi gak jadi gue lakuin. Memandang aja susah, apalagi untuk berkelanan. Itu nyambungnya kemana Ru? Intermezzo doang.

Karena hati gue tiba-tiba menjadi senang, akhirnya pengamen gue kasih seceng. Angkot pun berangkat karena lampu sudah hijau. Gak berapa lama kemudian masuk penumpang yang makin lama membentuk sebuah formasi delapan enam. Formasi SNI angkot. Suasana semakin tidak menentu. Perasaan senanag berapa menit yang lalu akhirnya terputus di persimpangan.

Sebentar lagi gue harus turun. Gue gak pernah ketemu lagi seorang Dinda.
Gue gak akan pernah lagi bisa dapatin nomer hape-nya. Gue harus sedih apa harus brutal dalam angkot. Kayaknya dua-duanya gak perlu dan gak penting. Kalo berjodoh kita akan berjumpa lagi. “Kiri depan~” seorang cewek yang duduk di depan gue tiba-tiba mengeluarkan suaranya. Guepun tersadar dan melihat ternyata disinilah gue harus turun. Ada tiga penumpang turun di simpang ini. Dinda bukan salah satunya ternyata.

Gue sedikit mendapat energi ketika gue harus turun dan menunggu penumpanng perempuam terlebih dahulu turun. Gak berapa lama Dinda menoleh ke arah gue. Gue pun begitu. Begitu apaan? Ternyata gue curi-curi pandang ke Dinda. ‘Waduh, Jang~ cuantiknya.’ Dinda lihat gue, gue lihat Dinda. Ada jeda dua sampai tiga detik saling menatap.  Sementara penumpang lainnya hanya berakting duduk-duduk santai.

Akhirnya gue kasih senyum tipis buat Dinda. Sayangnya gue gak melihat reaksi wajahnya Dinda itu seperti apa. Soalnya gue udah keburu turun dan senyum-senyum sendiri sambil jalan pulang. Lhoh, kok lo bisa senyum Ru? Kan belum ada jawaban dari dianya? Kasih tau gak ya? Dinda, boleh lihat KTP-nya?

Tidak ada komentar: