Setelah melewati jalan yang terbilang
panjang. Gue harus berjalan keluar bandara
sendiri tanpa teman. Musiklah yang menjadi teman gue saat itu.
Lima belas menit kemudian…
Akhirnya keluar dari bandara.
Selanjutnya gue harus bertanya-tanya angkot mana bisa membawa gue sampai kosan.
Ternyata gak ada. Gue harus naik angkot dua kali dari depan bandara. Pertama
gue naik angkot lupa lagi tujuan mana itu. Ntar gue turun di IP (Istana Plaza).
Terus gue naik angkot Caheum – Ciroyom. Dengan caatatan gue harus berjalan lagi
untuk bisa berjumpa angkot Ciroyom. Ini kenapa ngomongin angkot woi~
Mau gak mau gue harus nunggu lama
angkot Ciroyom lewat. Hujan datang, untung belum terlalu deras. Hanya gerimis.
Tanpa jaket. Hanya baju bola kebesaranlah gue pakai saat itu. Gue harus
menunggu sampai tiga kali lampu merah baru nonggol angkotnya. Ternyata
kosong. Gue bebas milih tempat duduk. Gak perlu sopir ngatur-ngatur gue harus
duduk dimana.
Dalam angkot hanya ada gue, penumpang
depan dan sopir. Woi, kenapa angkot lagi yang lo bahas. Santai, ini udah
mulai masuk ceritanya.
Masuklah penumpang yang ketiga. Ini
bukan pancasila lho. Iya tau, cepatan lanjutin ceritanya. Perempuan ini
rela basah-basahan hanya menunggu angkot. Angkot lagi. Berisik woi~ diam
dulu lo. Oke.
Waktu dia masuk, gue gak berani mandang
wajahnya. Gue hanya ingat dia berbaju kemeja bunga-bunga dan bercelana. Iyapastilah
dia bercelana. Gue kan belum selesai ngomong (ba)njir. Bercelana jeans
hitam.
Perempuan inilah yang menjadi pemeran
utama di cerita gue kali ini. Namanya Dinda. Itu bukan nama sebenarnya.
Hanya cocok saja. Tau darimana lo cocoknya sebuah nama Ru? Misalnya
doang itu SEMPAK~
Gue geser kekiri, di masuk ke kanan.
Tujuan gue baik. Biar Dinda gak kena hujan. Jarak tempat duduk kami hanya
berbeda dua penumpang. Waktu itu angkotnya lumayan lama ngetem-nya. Gue
dan Dinda diam seribu lima ratus tiga puluh satu bahasa. Gue diam. Dinda diam.
Gue liat hape, Dinda lihat hape juga.
Kalian harus tau gimana suasananya pada
saat itu. Gerimis mengundang. Maksudnya? Maksudnya gerimisnya itu
mengundang galau kronis. Gue galau mau ajak ngobrol apaan waktu itu. Gak
mungkin juga gue nanya “Baru pulang darimana Din?” Terus Dinda jawab “Muka gile
lo Ndro. Lo kira lo nyokap gue nanya-nanya kayak gitu.”
Atau seperti ini “Sejak kapan nyokap
gue potong kambing?” jawabnya ketus. Gue mendengar jawaban Dinda langsung
bergegas turun dari angkot dan berteriak kepada sopirnya “GILAAASSS GUEEE~”
ternyata gue sadar, itu hanya imajinasi doang.
Angkot pun kembali jalan setelah tidak
mendapat penumpang satu pun. Lampu merah pun menghampiri angkot kami. Kayak
lo aja yang punya angkot kesannya. Berisik lo sisik kuda~ *lemparbanserepangkot*
Sampai dimana tadi? Lampu merah.
Gue mulai galau lagi di lampu merah. Biasanya pengamen hanya mau mengahampiri
angkot yang berisikan penumpang banyak. Entah kenapa pengamen ini menghampiri
angkot Dinda yang belum terlihat wajahnya sampai lampu merah ini.
“Permisi…” akhirnya pengamen tersebut
mulai memetik gitarnya dan menyanyikan lagu Tompi – Menghujam Jantungku. Anjrit,
lagu ini benar-benar membuat gue kembali berimajinasi. Mana hujan, diiringi live
music lagi. Sesuatu sekali.
...
Pertengahan lirik lagu pelan-pelan gue
dekatin Dinda. Dengan spontan gue pegang tangannya dan kamipun bernyanyi
bersama. Gak lama kemudian kami kena marah sama sopir angkotnya. “BERISIK!!!”
Teriak sopirnya sambil melihat kebelakang. Kamipun saling memandang dan ketawa
cekikikan. Pengamen tadi makin semangat nyanyinya. Lalu gue kembali sadarkan
diri.
Karena lumayan lama lampu merahnya, gue
berniat mengajak ngobrol. Sayang niat itu gue harus batalkan. Gue takut Dinda
teriak waktu gue mau mendekatinya. Bisa aja dia teriak begini “Tolong,
pencuri…” Langsung gue jawab “Pencuri hati kamu sih iya.”
“Woo~” jawab penonton di dalam angkot.
Penontonnya adalah penumpang pertama dan sopir angkot tersebut. Atau bisa juga
begini "Tolong, ada orang mesum. Dia mau mencoba mengambil kehormatan
saya." Gue jawab "Mbak, kok pake hormat segala. Upacara bendera itu
hari senin." Oke, garing. Dan semua niat tadi gak jadi gue lakuin.
Memandang aja susah, apalagi untuk berkelanan. Itu nyambungnya kemana Ru?
Intermezzo doang.
Karena hati gue tiba-tiba menjadi
senang, akhirnya pengamen gue kasih seceng. Angkot pun berangkat karena
lampu sudah hijau. Gak berapa lama kemudian masuk penumpang yang makin lama
membentuk sebuah formasi delapan enam. Formasi SNI angkot. Suasana semakin
tidak menentu. Perasaan senanag berapa menit yang lalu akhirnya terputus di
persimpangan.
Sebentar lagi gue harus turun. Gue gak
pernah ketemu lagi seorang Dinda.
Gue gak akan pernah lagi bisa dapatin
nomer hape-nya. Gue harus sedih apa harus brutal dalam angkot. Kayaknya
dua-duanya gak perlu dan gak penting. Kalo berjodoh kita akan berjumpa lagi.
“Kiri depan~” seorang cewek yang duduk di depan gue tiba-tiba mengeluarkan
suaranya. Guepun tersadar dan melihat ternyata disinilah gue harus turun. Ada
tiga penumpang turun di simpang ini. Dinda bukan salah satunya ternyata.
Gue sedikit mendapat energi ketika gue
harus turun dan menunggu penumpanng perempuam terlebih dahulu turun. Gak berapa
lama Dinda menoleh ke arah gue. Gue pun begitu. Begitu apaan? Ternyata
gue curi-curi pandang ke Dinda. ‘Waduh, Jang~ cuantiknya.’ Dinda lihat
gue, gue lihat Dinda. Ada jeda dua sampai tiga detik saling menatap.
Sementara penumpang lainnya hanya berakting duduk-duduk santai.
Akhirnya gue kasih senyum tipis buat
Dinda. Sayangnya gue gak melihat reaksi wajahnya Dinda itu seperti apa. Soalnya
gue udah keburu turun dan senyum-senyum sendiri sambil jalan pulang. Lhoh,
kok lo bisa senyum Ru? Kan belum ada jawaban dari dianya? Kasih tau gak ya?
Dinda, boleh lihat KTP-nya?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar