Setelah berdiskusi panjang dan tidak
terlalu lebar, akhirnya gue dan awak Bandung bersedia datang ke Jakarta. Gue
langsung kabarin anak-anak yang masih menetap di Bandung. Sayangnya tidak
semuanya gue kabarin. Hanya beberapa orang pilihan yang gue kasih tau.
Wah, parah lo Ru... kenapa gak semuanya
lo kasih tau?
Iya maaf. Gue kan rada-rada lupaan
orangnya. Untuk pertemuan selanjutnya gue kabarin semuanya.
Basa-basi selesai. Mari kita lanjutkan
ceritanya. Dua hari sebelum keberangkatan, banyak anak-anak yang mengundurkan
diri. Akhirnya hanya menyisahkan diri sendiri. Karena gue udah janji,
yaudahlah, gue berangkat sendirian.
Memangnya anak Bandung cuma lo doang yang
datang Ru?
Ada tiga orang. Dua orang lagi sudah
deluan berangkatnya. Travel udah gue booking tiketnya, tinggal bayar besoknya.
Gue dipaksa bangun pagi dan mandi. Jam
delapan kurang lima belas meninggalkan kosan. Sebelum menuju travel, gue mampir
ke fotokopian. Katanya kalo pake KTM ada potongan harga. Maklum, masih
mahasiswa. Gue fotokopi lumayan banyak. Buat jaga-jaga.
Selesai itu, langsung nunjuk angkot
yang sesuai dengan arah tempat travel itu bersemayam.
Sepuluh menit kemudian gue nyampe.
Langsung mendekati travel tersebut.
Ternyata tempatnya baru dibuka. Edan,
kenapa gue datangnya cepat banget. Gue sih berusaha sebisa mungkin belajar on-time.
Gue malas melihat anak-anak Indonesia yang senangnya menggunakan jam karet.
Mungkin dalam hati mereka bilang “Gak papa-lah. Ntar juga mereka pasti nungguin
kita.”
Balik lagi ke kisah nyata.
"Mas, saya mau bayar." Ini
langsung ngomong gue.
"Bayar apa?" Tanya masnya
bingung.
"Bayar kosan mas."
Secara otomatis mas tersebut menebar
tawa "Hahaha..."
…
Acting-pun
masih gue lanjutin dengan masang muka tetap serius.
"Saya udah pesan kemarin. Sekarang
mau bayar."
"Namanya?" Tanya masnya.
"Herman." Jawab gue cepat.
"Bentar saya cek dulu. Mas
berangkat yang jam sembilan kan? Kenapa datangnya pagi banget mas. Ini baru jam
delapan loh."
“Suka-suka gue-lah, memang ini tempat
punya lo doang apa.” Ini gue ngomongnya dalam hati.
"Namanya Herman enggak ada
mas?"
Langsung gue potong lagi "Kalo
Heru ada?"
"Nah, ada." Sambil mukul
selembaran kertas menggunakan pulpen.
"Yaudah, yang Herunya aja deh saya
ambil mas."
"Lhoh kok?"
Hening.
"Mas, kalo pake KTM ada potongan
harga?"
"Ada. Bisa dilihat KTM-nya? Udah
di fotokopi kan?"
"Owh, udah." Gue keluarin.
Lima lembar fotokopiannya.
"Silakan mas pilih yang menurut
mas bagus potokopiannya."
Akhirnya mas tersebut memilih yang
paling kiri.
"Kenapa mas milih yang kiri?
Bukannya sama aja semuanya itu potokopian?"
Ada jeda diantara percakapan kami.
"Semester berapa sekarang
mas?"
JLEB~
Anying,
sekarang gue yang kena.
"Semester akhir mas."
"Semester berapa itu?"
"Semester... Dee..lapan."
Sempak koyak, gue harus berbohong. Kapan gue lulusnya kalo bohong terus, tapi
kalo gue bilang semester sepuluh pasti bingung.
Ah, lanjut lagi.
Perjalanan menuju Jakarta membutuhkan
waktu kurang lebih dua jam. Selama di perjalanan hanya tidur yang mampu gue
lakukan.
…
Empat jam kemudian setelah nyampe dan
selesai Jum’atan…
…
Pertama, gue ketemu Bella setelah
sholat jum'at. Bella gak ada perubahan. Terakhir gue lihat dia di televisi.
Temanin adiknya foto prawedding di Jepang.
Siapa pulak itu Ru?
Bukan, itu Syahrini.
Tau darimana pulak kau?
Aku kan suka juga nonton berita
infotaiment.
Okelah. Suka-suka kau ajalah.
…
Gue duduk. Bella lagi asyiknya nelpon.
"Pesan aja dulu Ru."
"Gue udah makan Bell." Jawab
gue sambil liat menu yang harganya gak mahasiswawi.
Bella nutup telepon "Ru, jalan-jalan
ke Singapur yuk." Gue langsung nelan ludah. Dalam hati gue ngomong "Anjrit, gue kencing aja belum lurus. Apalagi kuliah. Mana mungkin dikasih
gue jalan-jalan keluar peta Indonesia."
Kembali ke dunia sadar.
"Apa, kemana Bell?" Gue masih
liat menu makanan dan minuman.
"Singapur. Ajakin juga tuh anak
BB-nya." Jawab Bella semangat.
"Bentar Ru, gue mau jawab telepon
dulu. Lo mesan deluan aja." Jawabnya santai.
"Gue udah makan & minum
Bell." Jawab gue sambil liat menu yang masih gak berubah harganya.
Beberapa menit kemudian...
"Gimana?"
"Apanya?"
"Ke Singapur-nya."
"Hah, owh... Entar aja deh kalo
gue udah lulus baru mikirin begituan." Padahal memang gak punya uang buat
terbang kesana.
Muncul orang ketiga. Shaldilla. Ini
anak sering banget jumpa di Bandung. Dimana Doski ini pacaran sama Fadhiel. Menurut gue Dilla gak ada perubahan.
Masih aja menebar senyum ke semua orang. Dilla bilang kalo dia gak bisa
lama-lama disini. Soalnya jam terbangnya padat. Ini mau ada meeting
(baca: jumpa Pak Fadhiel) di Bandung.
Akhirnya kami bertiga ngobrol ringan
yang gue pasti lupakan. Kenapa? Karena mereka ngobrol tentang perkuliahan. Mateek.
Kartika orang keempat datang. Bawa-bawa
tas yang isinya baju kondangan. Menurut gue Tika juga gak ada perubahan.
Suaranya masih cempreng. Maaf, dan disinilah gue menjadi kameramen dadakan.
"Eh Ru, ini gue bawa kamera. Tolong fotoin kami bertiga dong." Ini
suaranya Tika lho.
"Okelah." Jawab gue pasrah.
Ada empat sampai lima kali gue motoin mereka.
Mulai lagi kami berempat ngobrol. Entah
apa yang kami ngomongin. Gue disana cuma jadi pendengar setia.
"Tik, kok
kita gak pernah jumpa ya waktu di Bandung." Tanya Dilla. "Eh, bener..
bener." Jawab ibu-ibu arisan (baca: Bella).
"Jangan salahin gue. Tuh, salahin
Heru. Dia kan suka ngasih kabar pas hari H-nya." Ini kata Tika dengan
suara.. Ya.. Taulah.
Gue cuma bisa menganga kayak monyet mau
di lempar kacang di taman Safari.
"Iya gitu?" Jawab gue mencoba
membela. Padahal memang iya.
"Yaiyalah. Bla... Bla... *sebagian
text hilang akibat terlalu cepat ngomongnya." Suaranya masih Tika.
…
"Eh Ru, gue baru bentar aja dekat
lo udah berubah."
"Berubah?"
"Berubah gila."
"Hahhhaahaha." Ketawa ini di
sponsori oleh penonton bayaran di acara Bukan Empat Mata.
Waktu berlalu sangat tidak cepat.
Setiap ada pertanyaan selalu di hubungan dengan gue. Selaku penyelenggara New-Bie.
Yudis datang. Orang kelima.
"Yudis." Jawab gue penuh air
mata bahagia.
"Eh Ru, kok cuma segini yang
datang?" Jawab Yudis sambil mengeser bangku.
"Bisaaaa." Jawab gue
semampunya.
"Biasalah, orang Indonesia. Jam
karet." Jawab gue lagi nyedot kapucino.
Ngobrol lagi kami berlima. Foto-foto.
Gue juga masih yang ambil alih kamera.
Sangat di sayangkan, mejanya gak bisa
di rombak menjadi kotak atau letter U. Saat itu meja berbentuk huruf I
besar. Susah untuk mendengarkan obrolan. Yang ada kami ngobrol dengan teman
sebangku saja.
Terus Dilla tanya kepada mas yang sedang
melayani meja kami "Memangnya kenapa gak boleh mas?"
"Jadi gini, saya gak berani buat
keputusan sendiri. Soalnya saya udah pernah kena SP sekali sama yang
punya."
Kami semua dengan serius mendengarkan
curhatan mas itu. Posisi saat itu kami duduk memandang wajahnya mas tersebut.
Si masnya berdiri sambil memegang telenan. Kemudian ia melanjutkan curcolnya
kembali.
"Waktu itu pernah ada yang minta
buat posisi U. Terus saya rubah mejanya. Ketika Manager saya datang. Saya
langsung dimarahin."
Melihat ekspresi wajahnya yang kayak
Nangka di makan kalong malam hari. Kamipun memutuskan untuk tidak banyak
permintaan.
"O.. Yaudah kalo gitu mas.
Makasih." Kata Dilla untuk mengakhiri curcol.
Rimmy datang. "Ikhsan mana
Rim?" Tanya gue.
"Lagi sholat katanya, tapi gak tau
dimana." Jawab Rimmy mencoba duduk.
"Ru, sholat ashar dulu yuk."
Yudis ini yang bicara.
"Ide bagus." gue itu yang
jawab.
"Aku jugalah." Bella ikutan.
"Aku juga belum." Rimmy
ikutan nyambar.
...
Setelah selesai sholat. Udah ramean
yang datang. Ada Vara, Andra, Ejan bersama pacarnya Fian. Ada Ico, Hendrik,
Ikhsan.
Kembali lagi keteman gue yang datang
hari ini. Ada Vara. Vara, gak ada perubahan sama sekali. Memorinya tentang masa
sekolah sangat kuat sekali. Apalagi yang berbau-bau asmara atau
menjelek-jelekkan orang lain. Perlu gue kasih contoh? Wah, kayak gak usah.
Takut ketagihan ikutan nyela juga.
Ada Andra disana. Cewek yang satu ini juga gak ada perubahan. Andra ini rekan satu timnya Vara. Kalo mereka berdua bertemu, nyela orangnya itu bisa sahut-sahutan, kayak kodok minta hujan.
Ada Rimmy disana. Katanya sih doski Playboy-nya
BB (Black Box) atau bahasa gak sekolahnya kucing garong. Dikit aja ada pepesan,
di embatnya. Bahaya sekali ternyata ini anak. Menurut trawangan positif gue,
mungkin dia lebih supel aja dibandingkan dengan anak yang lainnya.
Lanjut lagi, ada Hendrik. Wah, ini mah
dari Bandung. Sering jumpa. Masih tetap semangat dengan produk-produk
andalannya. Apalagi kalo bukan pakaian sehari-hari. Tidak termasuk sempak di
dalamnya. Keren kau bro.
Ikhsan, baru lulus. Dia mencoba
peruntungannya di Jakarta. Cara bicaranya langusng berubah. Tujuh puluh persen
lagi udah bisalah jadi AGJ (Anak Gaul Jakarta). Gue salut dengan semangatnya
mencari kerja di kota yang keras ini.
Ejan. Ejan sekarang kemana-mana bawa
pacarnya. Pada malam itu mereka terlihat sangat romantis sekali. Wah, rasanya
melihat mereka berdua pengen cepat merid aja nih. Awet terus ya buat
kalian berdua. Jangan lupa undang-undang anak BB.
Ico, gue gak kenal siapa ini anak.
Pertama kali gue kenal itu waktu Vara sama Andra main ke Bandung. Rupanya dia
anak PIM juga. Cuma dia bentar atau memang gue anak baru di PIM pada saat itu.
Dan semasa kecil juga gue gak pernah main sama Ico. Menurut gue Ico anaknya
pendiam dan mudah tersenyum, tapi sekali dia ngomong buat orang sakit perut.
Ketawa terus. Ico, malam hari ini lo kompor gas (Nonton Stand-Up komedi
biar tau artinya apa).
Beberapa menit kemudian datanglah calon
dokter kami. Ivan namanya. Vara langsung teriak "Afgaaan..."
Ivan. Anak-anak udah pada mesan surat
keterangan yang bertanda tangan dr. Ivan. Tujuannya adalah supaya mereka bisa
bolos. Oh, malang sekali nasib seorang dokter yang satu ini. Kalo ada Ivan, gak
jauh-jauh deh ceritanya itu pasti tentang pasiennya. Goib-goib dan mencekam
ceritanya.
Hampir lupa, Ivan juga masuk dalam tim
Andra dan Vara. Ibarat di sepak bola mereka adalah trio yang mematikan. Ivan si
pengumpan handal. Sedangkan Vara dan Andra adalah penyerang yang haus akan gol.
“Yak, Ivan membawa bola. Umpan silang
dia berikan kepada Andra. Andra menendang langsung kea rah gawang. Owh, sayang
sekali tendangan Andra dapat ditepis sama kiper lawan. Vara langsung menyambut
bola liar di daerah kotak penalty, dan GOAAALLL~”
Itu tadi perumpaan dalam sepak bola.
Kalo di dunia nyata. Wah, gue gak berani deh. Ampun kakak. “piss bro, komedi
bro…”
...
Magrib-pun tiba. Yudis mengajak kami
untuk sholat dahulu. Oke.
...
Selesai juga sholat magrib. Sebelum
pulang, kami sempatkan untuk foto bersama. Ada gaya Cherry Bell, Seven-ners
(boyband adiknya Vara), dan masih banyak gaya gak penting lainnya kami coba
ekspresikan.
Tidak lama kemudian Juwita datang. Dia
telat dikarenakan pada saat itu ibunya sedang sakit. Entah mengapa ia sempatkan
diri untuk bisa hadir ke acara yang berbahagia ini. Wah, keren. Juwi-lah yang
mengantar gue kebawah, ke tempat travel itu berada. Sekalian. Juwi mau pulang
dan sebelum itu dia harus beli obat terlebih dahulu. Benar-benar anak yang
berbakti dengan orang tua.
"Udah bisa pulang nih?" Tanya
gue.
"Karokean yuk." Ajak Vara
atau Bella yang ngomong. Kami-pun hanya ikut-ikut saja, seng penting
rame. Gue gak bisa lama-lama ikutan karoke. Soalnya travel gue berangkat jam
sembilan malam.
Mungkin, tanpa bantuan Juwi gue bisa di
tinggal sama travel. Soalnya , banyak banget pintu masuk atau keluarnya. Luas
mallnya aja bisa ngalahin lapangan sepak bola.
Pokonya perjumpaan sama anak BlackBox
itu selalu berujung ingin jumpa lagi dan lagi. Ketagihan. Soalnya pasti kangen
dengar cela-celaan masa lalu yang memang udah gak penting lagi untuk di bahas.
Hari yang menyenangkan berjumpa dengan
calon-calon orang tua masa depan. Jangan lupa buat jodohka anak kita kelak.
Buset, mainnya udah anak sekarang ya.
Wasalam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar