Selasa, 15 Mei 2012

Lama Tidak Berjumpa Teman Berdebu

Setelah berdiskusi panjang dan tidak terlalu lebar, akhirnya gue dan awak Bandung bersedia datang ke Jakarta. Gue langsung kabarin anak-anak yang masih menetap di Bandung. Sayangnya tidak semuanya gue kabarin. Hanya beberapa orang pilihan yang gue kasih tau.

Wah, parah lo Ru... kenapa gak semuanya lo kasih tau?

Iya maaf. Gue kan rada-rada lupaan orangnya. Untuk pertemuan selanjutnya gue kabarin semuanya.

Basa-basi selesai. Mari kita lanjutkan ceritanya. Dua hari sebelum keberangkatan, banyak anak-anak yang mengundurkan diri. Akhirnya hanya menyisahkan diri sendiri. Karena gue udah janji, yaudahlah, gue berangkat sendirian.

Memangnya anak Bandung cuma lo doang yang datang Ru?

Ada tiga orang. Dua orang lagi sudah deluan berangkatnya. Travel udah gue booking tiketnya, tinggal bayar besoknya.

Jum'at, 6 April 2012 pun telah datang.
Gue dipaksa bangun pagi dan mandi. Jam delapan kurang lima belas meninggalkan kosan. Sebelum menuju travel, gue mampir ke fotokopian. Katanya kalo pake KTM ada potongan harga. Maklum, masih mahasiswa. Gue fotokopi lumayan banyak. Buat jaga-jaga.

Selesai itu, langsung nunjuk angkot yang sesuai dengan arah tempat travel itu bersemayam.
Sepuluh menit kemudian gue nyampe. Langsung mendekati travel tersebut.

Ternyata tempatnya baru dibuka. Edan, kenapa gue datangnya cepat banget. Gue sih berusaha sebisa mungkin belajar on-time. Gue malas melihat anak-anak Indonesia yang senangnya menggunakan jam karet. Mungkin dalam hati mereka bilang “Gak papa-lah. Ntar juga mereka pasti nungguin kita.”

Balik lagi ke kisah nyata.

"Mas, saya mau bayar." Ini langsung ngomong gue.
"Bayar apa?" Tanya masnya bingung.
"Bayar kosan mas."

Secara otomatis mas tersebut menebar tawa "Hahaha..."


Acting-pun masih gue lanjutin dengan masang muka tetap serius.

"Saya udah pesan kemarin. Sekarang mau bayar."
"Namanya?" Tanya masnya.
"Herman." Jawab gue cepat.
"Bentar saya cek dulu. Mas berangkat yang jam sembilan kan? Kenapa datangnya pagi banget mas. Ini baru jam delapan loh."
“Suka-suka gue-lah, memang ini tempat punya lo doang apa.” Ini gue ngomongnya dalam hati.
"Namanya Herman enggak ada mas?"

Langsung gue potong lagi "Kalo Heru ada?"
"Nah, ada." Sambil mukul selembaran kertas menggunakan pulpen.
"Yaudah, yang Herunya aja deh saya ambil mas."
"Lhoh kok?"

Hening.

"Mas, kalo pake KTM ada potongan harga?"
"Ada. Bisa dilihat KTM-nya? Udah di fotokopi kan?"
"Owh, udah." Gue keluarin. Lima lembar fotokopiannya.
"Silakan mas pilih yang menurut mas bagus potokopiannya."

Akhirnya mas tersebut memilih yang paling kiri.
"Kenapa mas milih yang kiri? Bukannya sama aja semuanya itu potokopian?"

Ada jeda diantara percakapan kami.
"Semester berapa sekarang mas?"

JLEB~

Anying, sekarang gue yang kena.

"Semester akhir mas."
"Semester berapa itu?"
"Semester... Dee..lapan." Sempak koyak, gue harus berbohong. Kapan gue lulusnya kalo bohong terus, tapi kalo gue bilang semester sepuluh pasti bingung.

Ah, lanjut lagi.
Perjalanan menuju Jakarta membutuhkan waktu kurang lebih dua jam. Selama di perjalanan hanya tidur yang mampu gue lakukan.


Empat jam kemudian setelah nyampe dan selesai Jum’atan…


Pertama, gue ketemu Bella setelah sholat jum'at. Bella gak ada perubahan. Terakhir gue lihat dia di televisi. Temanin adiknya foto prawedding di Jepang.

Siapa pulak itu Ru?
Bukan, itu Syahrini.
Tau darimana pulak kau?
Aku kan suka juga nonton berita infotaiment.
Okelah. Suka-suka kau ajalah.


Gue duduk. Bella lagi asyiknya nelpon. 
"Pesan aja dulu Ru."
"Gue udah makan Bell." Jawab gue sambil liat menu yang harganya gak mahasiswawi.

Bella nutup telepon "Ru, jalan-jalan ke Singapur yuk." Gue langsung nelan ludah. Dalam hati gue ngomong "Anjrit, gue kencing aja belum lurus. Apalagi kuliah. Mana mungkin dikasih gue jalan-jalan keluar peta Indonesia."

Kembali ke dunia sadar.

"Apa, kemana Bell?" Gue masih liat menu makanan dan minuman.
"Singapur. Ajakin juga tuh anak BB-nya." Jawab Bella semangat.
"Bentar Ru, gue mau jawab telepon dulu. Lo mesan deluan aja." Jawabnya santai.
"Gue udah makan & minum Bell." Jawab gue sambil liat menu yang masih gak berubah harganya.

Beberapa menit kemudian...

"Gimana?"
"Apanya?"
"Ke Singapur-nya."
"Hah, owh... Entar aja deh kalo gue udah lulus baru mikirin begituan." Padahal memang gak punya uang buat terbang kesana.

Muncul orang ketiga. Shaldilla. Ini anak sering banget jumpa di Bandung. Dimana Doski ini pacaran sama Fadhiel. Menurut gue Dilla gak ada perubahan. Masih aja menebar senyum ke semua orang. Dilla bilang kalo dia gak bisa lama-lama disini. Soalnya jam terbangnya padat. Ini mau ada meeting (baca: jumpa Pak Fadhiel) di Bandung.

Akhirnya kami bertiga ngobrol ringan yang gue pasti lupakan. Kenapa? Karena mereka ngobrol tentang perkuliahan. Mateek.

Kartika orang keempat datang. Bawa-bawa tas yang isinya baju kondangan. Menurut gue Tika juga gak ada perubahan. Suaranya masih cempreng. Maaf, dan disinilah gue menjadi kameramen dadakan. "Eh Ru, ini gue bawa kamera. Tolong fotoin kami bertiga dong." Ini suaranya Tika lho.

"Okelah." Jawab gue pasrah. Ada empat sampai lima kali gue motoin mereka.

Mulai lagi kami berempat ngobrol. Entah apa yang kami ngomongin. Gue disana cuma jadi pendengar setia. 

"Tik, kok kita gak pernah jumpa ya waktu di Bandung." Tanya Dilla. "Eh, bener.. bener." Jawab ibu-ibu arisan (baca: Bella).
"Jangan salahin gue. Tuh, salahin Heru. Dia kan suka ngasih kabar pas hari H-nya." Ini kata Tika dengan suara.. Ya.. Taulah.

Gue cuma bisa menganga kayak monyet mau di lempar kacang di taman Safari.

"Iya gitu?" Jawab gue mencoba membela. Padahal memang iya.
"Yaiyalah. Bla... Bla... *sebagian text hilang akibat terlalu cepat ngomongnya." Suaranya masih Tika.


"Eh Ru, gue baru bentar aja dekat lo udah berubah."
"Berubah?"
"Berubah gila."
"Hahhhaahaha." Ketawa ini di sponsori oleh penonton bayaran di acara Bukan Empat Mata.
Waktu berlalu sangat tidak cepat. Setiap ada pertanyaan selalu di hubungan dengan gue. Selaku penyelenggara New-Bie. Yudis datang. Orang kelima.

"Yudis." Jawab gue penuh air mata bahagia.
"Eh Ru, kok cuma segini yang datang?" Jawab Yudis sambil mengeser bangku.
"Bisaaaa." Jawab gue semampunya.
"Biasalah, orang Indonesia. Jam karet." Jawab gue lagi nyedot kapucino.

Ngobrol lagi kami berlima. Foto-foto. Gue juga masih yang ambil alih kamera.

Sangat di sayangkan, mejanya gak bisa di rombak menjadi kotak atau letter U. Saat itu meja berbentuk huruf I besar. Susah untuk mendengarkan obrolan. Yang ada kami ngobrol dengan teman sebangku saja.

Terus Dilla tanya kepada mas yang sedang melayani meja kami "Memangnya kenapa gak boleh mas?"

"Jadi gini, saya gak berani buat keputusan sendiri. Soalnya saya udah pernah kena SP sekali sama yang punya."
Kami semua dengan serius mendengarkan curhatan mas itu. Posisi saat itu kami duduk memandang wajahnya mas tersebut. Si masnya berdiri sambil memegang telenan. Kemudian ia melanjutkan curcolnya kembali.

"Waktu itu pernah ada yang minta buat posisi U. Terus saya rubah mejanya. Ketika Manager saya datang. Saya langsung dimarahin."

Melihat ekspresi wajahnya yang kayak Nangka di makan kalong malam hari. Kamipun memutuskan untuk tidak banyak permintaan.

"O.. Yaudah kalo gitu mas. Makasih." Kata Dilla untuk mengakhiri curcol.

Rimmy datang. "Ikhsan mana Rim?" Tanya gue.

"Lagi sholat katanya, tapi gak tau dimana." Jawab Rimmy mencoba duduk.
"Ru, sholat ashar dulu yuk." Yudis ini yang bicara.
"Ide bagus." gue itu yang jawab.
"Aku jugalah." Bella ikutan.
"Aku juga belum." Rimmy ikutan nyambar.

...

Setelah selesai sholat. Udah ramean yang datang. Ada Vara, Andra, Ejan bersama pacarnya Fian. Ada Ico, Hendrik, Ikhsan.

Kembali lagi keteman gue yang datang hari ini. Ada Vara. Vara, gak ada perubahan sama sekali. Memorinya tentang masa sekolah sangat kuat sekali. Apalagi yang berbau-bau asmara atau menjelek-jelekkan orang lain. Perlu gue kasih contoh? Wah, kayak gak usah. Takut ketagihan ikutan nyela juga.

Ada Andra disana. Cewek yang satu ini juga gak ada perubahan. Andra ini rekan satu timnya Vara. Kalo mereka berdua bertemu, nyela orangnya itu bisa sahut-sahutan, kayak kodok minta hujan.

Ada Rimmy disana. Katanya sih doski Playboy-nya BB (Black Box) atau bahasa gak sekolahnya kucing garong. Dikit aja ada pepesan, di embatnya. Bahaya sekali ternyata ini anak. Menurut trawangan positif gue, mungkin dia lebih supel aja dibandingkan dengan anak yang lainnya.

Lanjut lagi, ada Hendrik. Wah, ini mah dari Bandung. Sering jumpa. Masih tetap semangat dengan produk-produk andalannya. Apalagi kalo bukan pakaian sehari-hari. Tidak termasuk sempak di dalamnya. Keren kau bro.

Ikhsan, baru lulus. Dia mencoba peruntungannya di Jakarta. Cara bicaranya langusng berubah. Tujuh puluh persen lagi udah bisalah jadi AGJ (Anak Gaul Jakarta). Gue salut dengan semangatnya mencari kerja di kota yang keras ini.

Ejan. Ejan sekarang kemana-mana bawa pacarnya. Pada malam itu mereka terlihat sangat romantis sekali. Wah, rasanya melihat mereka berdua pengen cepat merid aja nih. Awet terus ya buat kalian berdua. Jangan lupa undang-undang anak BB.

Ico, gue gak kenal siapa ini anak. Pertama kali gue kenal itu waktu Vara sama Andra main ke Bandung. Rupanya dia anak PIM juga. Cuma dia bentar atau memang gue anak baru di PIM pada saat itu. Dan semasa kecil juga gue gak pernah main sama Ico. Menurut gue Ico anaknya pendiam dan mudah tersenyum, tapi sekali dia ngomong buat orang sakit perut. Ketawa terus. Ico, malam hari ini lo kompor gas (Nonton Stand-Up komedi biar tau artinya apa).

Beberapa menit kemudian datanglah calon dokter kami. Ivan namanya. Vara langsung teriak "Afgaaan..."
Ivan. Anak-anak udah pada mesan surat keterangan yang bertanda tangan dr. Ivan. Tujuannya adalah supaya mereka bisa bolos. Oh, malang sekali nasib seorang dokter yang satu ini. Kalo ada Ivan, gak jauh-jauh deh ceritanya itu pasti tentang pasiennya. Goib-goib dan mencekam ceritanya.

Hampir lupa, Ivan juga masuk dalam tim Andra dan Vara. Ibarat di sepak bola mereka adalah trio yang mematikan. Ivan si pengumpan handal. Sedangkan Vara dan Andra adalah penyerang yang haus akan gol.

“Yak, Ivan membawa bola. Umpan silang dia berikan kepada Andra. Andra menendang langsung kea rah gawang. Owh, sayang sekali tendangan Andra dapat ditepis sama kiper lawan. Vara langsung menyambut bola liar di daerah kotak penalty, dan GOAAALLL~”

Itu tadi perumpaan dalam sepak bola. Kalo di dunia nyata. Wah, gue gak berani deh. Ampun kakak. “piss bro, komedi bro…”

...

Magrib-pun tiba. Yudis mengajak kami untuk sholat dahulu. Oke.

...

Selesai juga sholat magrib. Sebelum pulang, kami sempatkan untuk foto bersama. Ada gaya Cherry Bell, Seven-ners (boyband adiknya Vara), dan masih banyak gaya gak penting lainnya kami coba ekspresikan.
Tidak lama kemudian Juwita datang. Dia telat dikarenakan pada saat itu ibunya sedang sakit. Entah mengapa ia sempatkan diri untuk bisa hadir ke acara yang berbahagia ini. Wah, keren. Juwi-lah yang mengantar gue kebawah, ke tempat travel itu berada. Sekalian. Juwi mau pulang dan sebelum itu dia harus beli obat terlebih dahulu. Benar-benar anak yang berbakti dengan orang tua.

"Udah bisa pulang nih?" Tanya gue.
"Karokean yuk." Ajak Vara atau Bella yang ngomong. Kami-pun hanya ikut-ikut saja, seng penting rame. Gue gak bisa lama-lama ikutan karoke. Soalnya travel gue berangkat jam sembilan malam.

Mungkin, tanpa bantuan Juwi gue bisa di tinggal sama travel. Soalnya , banyak banget pintu masuk atau keluarnya. Luas mallnya aja bisa ngalahin lapangan sepak bola.

Pokonya perjumpaan sama anak BlackBox itu selalu berujung ingin jumpa lagi dan lagi. Ketagihan. Soalnya pasti kangen dengar cela-celaan masa lalu yang memang udah gak penting lagi untuk di bahas.

Hari yang menyenangkan berjumpa dengan calon-calon orang tua masa depan. Jangan lupa buat jodohka anak kita kelak. Buset, mainnya udah anak sekarang ya.

Wasalam.

Tidak ada komentar: