Suasana saat itu aku berada dalam sebuah ruangan. Tidak terlalu besar. Tidak terlalu sempit, tapi banyak sekali orang di dalam ruangan. Setelah membuka mata akhirnya aku sadar, ternyata aku sedang berada di sebuah ruangan kelas. Dimana di dalamnya sedang ada Ujian Akhir Semester (UAS).
Aku masih bengong
selama tiga setengah menit. Ternyata ujian sudah berlangsung satu jam yang
lalu. Kertas yang ada di atas meja bersambung dengan kursi masih kosong. Hanya
ada sedikit tulisan tangan yang berisi nama, nim, mata kuliah dan tanggal
sekarang. Sebenarnya ujian apa ini? Kenapa harus mendadak begini ujiannya. Aku
bingung sebingungnya. Lihat kiri-kanan, teman asyik sekali menulis di lembar
kertas ujian.
Aku tidak mengerti
apakah mereka tau semua jawabannya atau hanya menunduk saja sambil memegang
sebuah pulpen di tangannya. Tiba-tiba pengawas mengatakan "Waktunya
tinggal lima menit lagi. Jangan lupa periksa kembali nama, nim dan kode
soal."
Aku sama sekali tidak
mendapatkan soalnya. Aneh yang aku rasakan. "Yaa, waktunya habis."
Kata pengawas ujiannya. Mati dah, ngumpulin lembar jawaban isinya hanya nama,
nim dan masih banyak lagi yang harus aku sebutin.
"Jangan pada
pulang. Sepuluh menit lagi akan keluar hasilnya." Kata petugas ujian
sambil merapikan lembar jawaban mahasiswa. Mahasiswa yang berada di dalam
ruangan sama sekali tidak berontak. Hanya duduk diam dan ngobrol ringan dengan
teman disebelahnya. Sedangkan aku masih tetap bingung di bangku bagian paling
belakang.
Karena begitu banyak
mahasiwa-mahasiswa yang berlalu-lalang, akhirnya aku kehilangan jejak Nicole.
Aku tersesat, panik dan hampir putus asa mencari keberadaan Nicole. Mana lupa
lagi tempatnya dimana. Ada lima tempat yang sudah aku datangin, tapi nihil hasilnya.
Akhirnya aku memutuskan untuk balik ke kosan dengan wajah menunduk kebawah.
Ketika aku keluar dari
gerbang pintu kampus, aku tidak sengaja melihat Nicole berdiri sendirian di
depan sebuah travel. Entah kenapa aku bisa melihat Nicole dengan jarak pandang
yang lumayan jauh jaraknya. Kalau pada saat itu aku bawa meteran mungkin
jaraknya sekitar lima puluh meter jarakannya.
Entah kenapa aku hapal
sekali baju yang dipakainya. Kemeja berwana cerah. Kalian mungkin sering
menyebutnya warna merah marun. Saat itu juga aku berusaha lari sekuat mungkin.
Aku tidak mau kehilangan jejak untuk kedua kaliannya. Semakin ingin aku
mendekatinya semakin jauh jaraknya. Aku tidak tau apakah itu hanya fatamorgana
atau sebuah imajinasi belaka.
“Maaf, ternyata sama maksudnya.”
Usaha lariku ternyata
tidak sia-sia. Akhirnya aku tepat berada di depan dia. Tidak terlalu dekat.
Tidak juga terlalu jauh. Jarak aku dengan Nicole tujuh meter dari sepatuku
dengan sepatunya. Untung saja dia sedang menghadap kearah travel dan sibuk
melihat jam tangan yang berada disebelah kiri tangannya. Sedangkan aku tepat
berada di belakangnya. Aku makin berkeringat. Detak jantungku berdetak lumayan
cepat dari biasanya. Aku merogoh kantung celana berusaha mencari sapu tangan.
Aduh, ternyata sapu tangan tidak ku-bawa.
"Sapu tangan?
Buat apaan?" Suara ini dari arah kiri dan kanan.
"Hush~"
Kataku dalam hati sambil mengibaskan tangan.
Pandanganku tidak
teralihkan. Serasa menggunakan autofocus
sedangkan yang lainnya menjadi blur.
Sampailah pada puncaknya. Aku bingung mau ngomong apa sekarang. Apakah
"Hai atau akhirnya ketemu juga tempatnya.” Ini masih tetep ngomong dalam
hati. Akhirnya aku memberanikan diri untuk melangkah mendekatinya. Aku tarik nafas
dalam-dalam.
“H..hay Nicole.” Waktu itu …
“H..hay Nicole.” Waktu itu …
…
Akhirnya Nicole menoleh
kebelakang dan menghampiriku.
“Hai, kenapa kamu lama
banget datangnya? Gak tau apa bentar lagi aku mau pergi ke Jakarta?” Wajah
Nicole agak sedikit kesel.
“Gak tau, emangnya
kapan kamu bilangnya?” Jawabku dengan wajah sedikit mengkerut.
“Dua hari yang lalu. Cepat
banget sih lupanya?” Nicole mencoba menjelaskan.
“Yasudahlah. Minta
nomer Hp kamu dong?” Mengeluarkan mobile-phone
dari saku celananya.
“Boleh.” Jawabku
cepat.
Nicole menyerahkan
mobile phone-nya kepadaku.
“Lama ya? Atau
jangan-jangan kamu lupa lagi nomer hape sendiri.” Mencoba membuka percakapan
atau ini sebuah candaannya dia saja. Kita tidak tau bung?
“Woy, kenapa
komentator bola ada disini. Pulang sana.”
Engga berapa lama dia
nanya, aku langsung berusaha untuk tersenyum diiringin suara ketawa sekali
saja.
“Tau dong.” Masih
nekan nomer. Terlihat sangat jelas sekali kalau aku menekan nomer hape di layar
sentuh dengan gemetaran secara alami.
“Kenapa, salah lagi
nomer yang kamu tekan?” Sepertinya Nicole mencoba mengodaku.
“Apah, ini tidak
mungkin terjadi men. Masa cewek sih yang godain pria.” Ini ngomong dalam hati.
Akupun mulai berpikir
untuk membalas mengodanya kembali.
“Gak, aku cuma mau
ngecek doang kok. Layarnya masih nyaman gak di sentuh-sentuh.” Mencoba ngeles. “Alasan kamu.”
Ada senyum yang ia
pancarkan kearah wajahku. Tiba-tiba saja wajahnya dekat sekali dengan wajahku.
Apa mungkin karena aku menunduk dan memperhatikan layar hape terus
sampai-sampai aku tidak memperhatikan gerak-geriknya.
Akupun meleleh seperti
lilin yang dipanaskan.
“Sini, biar aku aja
deh yang masukin nomernya?” Nicole mencoba menggambil kembali hape di tanganku.
“Berapa nomernya?” Tanya Nicole dengan nada yang terburu-buru.
“Kosong delapan satu
dua dua satu sekian, sekian, sekian.” Jawabku dengan nada sedikit mencontoh
suara bapak Mario Teguh.
“Lhoh, kok pake
sekian, sekian, sekian sih? Emangnya acara di-tipi-tipi apa?” Wajahnya pun
penuh dengan tanda tanya, bahagianya aku.
“Apasih Ru.”
“Iya gak enak aja
nyerahin semua nomernya dengan kata-kata.” Ide berelian-pun keluar.
“Sini.” Nicole
mendekat. Akupun berusaha memberanikan diri membisikan sisa nomer hape-ku ke
telingganya.
…
Akhirnya kamipun
bercerita lumayan lama di ruangan travel. Tiba-tiba seorang lelaki memanggil
“Nicole.”
“Eh, Nabil.” Kata Nicole.
Tiba-tiba Nabil
mengatakan “Hai” kepadaku.
“Hai..” Sambil sedikit
senyum kebingungan keluar dari mulutku.
“Oiya, kenalin nih.
Mantan pacar aku Ru.” Nicole mencoba memperkenalkan aku dengan Nabil.
“Nabil.”
“Heru.”
Kamipun berjabat
tangan dan tidak berpelukan seperti Teletubies.
Gak tau kenapa, akhirnya kami bertiga menjadi akrab dengan sendirinya.
Tidak terasa waktu
sudah menunjukan pukul setengah lima sore.
“Aku berangkat dulu
ya.” Nicole bangun dari kursi.
“Bareng Nabil kamu
berangkatnya?” Tanyaku dengan sigap.
“Iya.” Jawabnya datar.
“Kamu.” Jari
telunjuknya mengarah ke wajahku.
“Yaelah, siapa lagi
memangnya yang mau ditunjuk Ru.”
Masuk suara Nabil ke
telingga kananku.
“Rajin-rajin belajar
ya kamu selama aku di Jakarta.” Suara Nicole sedikit berubah.
Kalau aku bisa
mendengar lagi suaranya mungkin aku bisa meleleh untuk kedua kalinya.
“Lebay lo Ru.” PLAAAK~
“Heh, Siapa pula dia
bisa-bisanya nasehatin gue.” Dalam hati ngomongnya.
“Oh, iya.. iya..”
Jawabku dengan sedikit ragu.
Jelas aja jawabanku
ragu, kalo aku bisa rajin belajar kayak teman lainnya mungkin bisa selesai
tepat waktu, bukan selesai di waktu yang tepat.
“Hati-hati Ru, bisa
jadi Nicole ada maksud lain tuh.” Nabil ikutan nimbrung dalam percakapan.
Sempat aku terdiam sejenak
memikirkannya, kemudian aku tertawa “Haha.” Ketawanya lumayan paksa sambil
mengaruk kepala bagian belakang beberapa kali. Selesai Nabil ngomong, Nicole
memukul kepala Nabil menggunakan tote bag-nya.
“Njrit, sakit tau.”
Nabil mengusap kepalanya berkali-kali.
“Aku pergi dulu ya.”
Kata Nicole sambil berjalan mendekati travel.
Anehnya lagi,
bisa-bisanya aku membukukkan badan hampir empat puluh lima derajat ke arah
Nicole. Sebegitunya aku menghormatinya. Tidak lama kemudian Shutle bus tersebut mulai menjauh. Tidak
berapa lama saat aku mau berjalan pulang ke kosan, hape-ku bergetar dan mengeluarkan nada sms.
…Sampai jumpa lagi Ru di mimpi selanjutnya. Aku senang bisa mimpi bersama kamu.
Akhirnya aku bangun
dari tempat tidur. Lihat ke arah jam dinding kamar, buset udah setengah sebelas.
Lima detik kemudian panik secara perlahan-lahan. Aku cari buku ide dimana
biasanya nulis apapun disana. Kemudian ambil pulpen di dalam tas dan akhirnya
aku menulis cerita singkat ini sekaligus paling menyenangkan dalam mimpiku selama
Desember 2011.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar